Sudah sejak saya kecil sebetulnya keadaan tak henti mengajarkan, betapa tidak berartinya sebuah penumpukan. Naluri penumpukan pertama yang saya ingat ialah ketika pertama kali saya belajar berpuasa.
Semua jenis makanan rasanya ingin saya kumpulkan, saya sembunyikan untuk saya makan sendiri. Untuk itu, saya malah merasa perlu memilki semacam bunker perlu juga dengan cara sembunyi-sembunyi. Bunker saya itu harus penuh sekaligus harus tetap jadi tempat misteri.
Apa saja makanan yang saya temui saya simpan di sini. Apa saja, karena bagi perut lapar, semua jenis makanan terasa lezat sekali. Sebentar-sebentar bunker rahasia ini saya datangi, aneka makanan itu saya pandangai untuk saya saja), apa yang sanggup saya makan ternyata cuma sedikit saja.
Cukup dengan makan sebagian saja saya sudah telentang kekenyangan. Setelah sebelumnya lemas karena kelaparan, saya segera lemas oleh kekenyangan. Saat itu, diam makan, ternyata apa yang disebut makan itu hanya secepat itu, hanya sesingkat itu dan sesederhana itu.
Seluruh kegaduhan itu ternyata selesai cukup hanya dengan beberapa suapan. Rasanya malu sekali mengiba-iba minta diperbolehkan menyantap seluruh makanan tetapi cukup dengan minum beberapa tegukan, saya sudah kekenyangan yang cuma sebegini, harus ditebus dengan keganasan seperti ini.
Tak perlu seluruh makanan sebanyak itu, tak perlu bernafsu menjadikan seluruhnya menjadi harta karun pribadi, karena yang dibutuhkan ternyata cuma sebatas itu. Tapi lagi-lagi, jika kelaparan datang lagi, akal sehat saya seperti terbang lagi. Kekeliruan demi kekeliruan yang sama terus saya peragakan berulang-ulang hingga hari ini.
Kini, setelah saya bukan anak kecil lagi, puasa saya memang telah mampu genap sehari. Bunker rahasia itu memang tak ada lagi. Kebiasaan mengumpulkan makanan memang tak lagi saya lakukan. Tetapi apakah berarti saya sudah menjadi kuat di hadapan kelaparan? Rasanya tidak.
Apalagi makin bertambahnya usia, malah makin banyak saja jenis kelaparan yang saya derita. Ada lapar karier, lapar popularitas, lapar perhatian, yang ada di dunia saya ini.
sumber : suaramerdeka.com